Cara Menghitung Pajak Pph 24

Bagikan ke:
Dalam mempelajari perhitungan pajak kita harus tahu caranya terlebih dahulu. Bagaimana cara menghitung pajak pph 2 dan apa saja batasan-batasan dalam pajak pph 24 tersebut? Pada dasarnya wajib pajak dalam negeri terutang pajak atas seluruh penghasilan, termasuk penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri. Untuk meringankan dari beban pajak ganda yang dapat terjadi karena pengenaan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh diluar negeri, ketentuan ini mengatur tentang perhitungan besarnya pajak atas penghasilan yang dibayar atau terutang diluar negeri yang dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutang atas seluruh penghasilan wajib pajak dalam negeri.


Ketentuan dari pasal 24 UU PPh ialah mengatur tentang perhitungan besarnya pajak atas penghasilan yang dibayar atau terutang diluar negeri yagn dapat dikreditkan terhadap pajak penghasilan yang terutang atas seluruh penghasilan wajib pajak dalam negeri. Pengkreditan pajak luar negeri dilakukan dalam tahun digabungkannya penghasilan dari luar negeri dengan penghasilan di indonesia. Indonesia menganut tax credit yang ordinary credit method dengan menerapkan per country limitation.

Penggabungan Penghasilan di dalam Cara Menghitung Pajak Pph 24

Proses penggabungan penghasilan yang berasal dari luar negeri dilakukan sebagai berikut:
  1. Penggabungan penghasilan dari usaha yang dilakukan dalam tahun pajak diperolehnya penghasilan tersebut (accrual basis).
  2. Penggabungan penghasilan lainnya dilakukan dalam tahun pajak diterimanya penghasilan tersebut (cash basis).
  3. Penggabungan penghasilan yang berupa dividen (pasal 18 ayat 2 UU PPh) dilakuka n dalam tahun pajak pajak pada saat perolehan dividen tersebut ditetapkan sesuai dengan keputusan Menteri Keuangan.

Contoh dari cara menghitung pajak PPh 24

Contoh 1:
PT agung memperoleh penghasilan netto dalam tahun 2014 sebagai berikut:
  1. Penghasilan dari luar negeri Rp 5.000.000.000,00, dengan tarif pajak sebesar 40%.
  2. Penghasilan usaha di indonesia Rp 3.000.000.000,00.
Maka jumlah dari penghasilan neeto adalah:
Rp 5.000.000.000,00 + Rp 3.000.000.000,00 = Rp 8.000.000.000,00
Batas maksimum kredit pajak diambil yang terendah dari 3 unsur/perhitungan berikut:
  1. Pph terutang atau dibayar diluar negeri adalah:
40% x Rp 5.000.000.000 = Rp 2.000.000.000,00
  1. (Rp 5.000.000.000,00 : Rp 8.000.000.000,00) x Rp 2.240.000.000,00 =                             Rp 1.400.000.000,00
  2. Pph terutang (menurut tarif pasal 17) = Rp 8.000.000.000,00 x 28% = Rp 2.240.000.000,00
Dengan demikian kredit pajak yang diperkenankan adalah pada poin 2 sebesar Rp 1.400.000.000,00.

Apabila penghasilan luar negeri berasal dari beberapa negara, maka penghitungan batas maksimum kredit pajak dilakukan untuk masing-masing negara.
Contoh 2:
PT Sadewa memperoleh penghasilan neto dalam tahun 2014 sebagai berikut:
  1. Di negara A, memperoleh penghasilan (laba) Rp 2.000.000.000,00 dengan tarif pajak sebesar 35% (Rp 700.000.000,00).
  2. Di negara B, memperoleh penghasilan (laba) Rp 1.000.000.000,00 dengan tarif pajak sebesar 20% (Rp 200.000.000,00)
  3. Penghasilan usaha di indonesia Rp 5.000.000.000,00.
Penghitungan kredit pajak luar negeri adaah sebagai berikut:
  1. Penghasilan luar negeri
  2. Laba di negara A Rp 2.000.000.000,00
  3. Laba di negara B Rp 1.000.000.000,00
Jumlah penghasilan luar negeri                Rp 3.000.000.000,00
  1. Penghasilan dalam negeri Rp 5.000.000.000,00
  2. Jumlah penghasilan neto atau penghasilan kena pajaknya adalah:
Rp 3.000.000.000,00 + Rp 5.000.000.000,00 = Rp 8.000.000.000,00
  1. PPh terutang (menurut tarif pasal 17) = Rp 8.000.000.000,00 x 28% = Rp 2.240.000.000,00.
  2. Batas maksimum kredit pajak untuk masing-masing negara adalah:
  3. Untuk negara A:
(Rp 2.000.000.000,00 : Rp 8.000.000.000,00) x Rp 2.240.000.000,00
= Rp 560.000.000,00.
Pajak terutang di negara A sebesar Rp 700.000.000,00 maka maksimum kredit pajak yang dapat dikreditkan adalah Rp 560.000.000,00.
  1. Untuk negara B:
(Rp 1.000.000.000,00 : Rp 8.000.000.000,00 x Rp 2.240.000.000,00
= Rp 280.000.000,00
Pajak terutang di negara B sebesar Rp 200.000.000,00 maka maksimum kredit pajak yang dapat dikreditkan adalah Rp 200.000.000,00.
  1. Jumlah kredit pajak luar negeri yang diperkenankan adalah sebesar:
Rp 560.000.000,00 + Rp 200.000.000,00 = Rp 760.000.000,00.

Cara Menghitung Pajak PPh 23

Bagikan ke:
Begitu beragam cara dalam perhitungan pajak, begitu juga dengan cara menghitung pajak PPh 23. Dalam ketentuan pasal 23 UU PPh mengatur pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima atau di peroleh wajib pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah di potong pajak penghasilan pasal 21, yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggaraan kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya.

Pemotong PPh pasal 23

Sebelum beranjak ke cara menghitung pajak PPh 23, kita harus tahu terlebih dahulu siapa saja yang berhak memotong pajak pph pasal 23. Pemotong pph pasal 23 adalah pihak-pihak yang membayarkan penghasilan, diantaranya terdiri atas:
  1. Badan pemerintah,
  2. Subjek pajak badan dalam negeri,
  3. Penyelenggara kegiatan,
  4. Bentuk usaha tetap,
  5. Perwakilan perussahaan luar negeri lainnya,
  6. Orang pribadi sebagai wajib pajak dalam negeri yang telah dapat penunjukan dari direktur jenderal pajak untuk memotong pajak pph pasal 23 yang meliputi sebagai berikut:
  7. Akuntan, arsitek, dokter, notaris, pejabat pembuat akta tanah (PPAT) kecuali PPAT terseebut adalah camat, pengacara, dan konsultan yang melakukan pekeerjaan bebas.
  8. Orang pribadi yang menjalankan usaha yang menyelenggarakan pembukuan.
  9. Objek pemotongan pph pasal 23
Jenis penghasilan yang terkenal potongan pph pasal 23 adalah:
  1. Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi.
  2. Bunga termasuk premium, diskonto dan imbalan karena jaminan pengembalian utang.

  3. Hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain yang telah dipotong pajak penghasilan sebagimana dimaksud dalam pasal 21.
  4. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa tanah dan/atau bangunan. Dan
  5. Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong pajak penghasilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 21.
  6. Tarif pemotongan pph pasal 23
Besarnya tarif pph pasal 23 yang harus dipotong adalah:
  1. Sebesar 15% dari jumlah bruto atas:
  2. Dividen;
  3. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang;
  4. Royanti; dan
  5. Hadiah, penghargaan, bonus dan sejenisnya selain yang telah dipotong pajak pajak pph pasal 21.
  6. Sebesar 2% dari jumlah bruto tidak termasuk pajak pertambahan nilai, atas:
  7. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa tanah dan/atau bangunan; dan
  8. Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong pajak penghasilan pasal 21.
  9. Cara menghitung Pajak PPh 23
Cara menghitung Pajak PPh 23 atas dividen akan dikenakan pemotongan pph pasal 23 sebesar 15% Dari jumlah bruto. (PPh Pasal 23 = 15% x Bruto).

Contoh 1: cara menghitung pph pasal 23 atas dividen.
PT Solatif membayarkan dividen kepada CV Perwira pada bulan April 2014 sebesar Rp 200.000.000,00.
PPh pasal 23 di potong PT Solatif adalah:
15% x Rp 200.000.000,00 = Rp 30.000.000,00.

Contoh 2: cara menghitung pph pasal 23 atas bunga.
PT makmur sentosa membayar bunga atas pinjaman membayar bunga kepada PT Jaya sebesar Rp 80.000.000,00
PPh pasal 23 yang dipotong PT makmur sentosa adalah:
15% x Rp 80.000.000,00 = Rp 12.000.000,00.

Cara Menghitung Pajak PPh 22

Bagikan ke:
Begitu pentingnya untuk mempelajari bagaimana cara menghitung pajak PPh 22, dan mengetahui apa saja yang termasuk ke dalam kategori dari pajak PPh 22 tersebut. Siapa saja yang sekiranya terkena oleh pajak PPh 22 dan pemungutan pajak pph 22 ini siapakah yang berhak untuk memungutnya.
Pajak PPh 22 adalah pembayaran pajak penghasilan dalam tahun berjalan yang dipungut oleh:
  • Bendahara pemerintah, termasuk bendaharan pada pemerintah pusat, pemerintah daerah, instansi atau lembaga pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya, berkenaan dengan pembayaran atas penyerahan barang, termasuk juga dalam pengertian bendahara adalah pemegang kas dan pejabat lain yang menjalankan fungsi yang sama;
  • Badan-badan tertentu, baik dari badan pemerintah maupun swasta, berkenaan dengan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lainnya, seperti kegiatan usaha produksi barang tertentu, antara lain barang otomotif dan semen; dan
  • Wajib pajak badan tertentu untuk melakukan pemungutan pajak pari pembeli atas penjualan barang yang tergolong sangat mewah. Pemungutan pajak oleh wajib pajak badan tertentu ini akan dikenakan terhadap pembelian barang yang memenuhi kriteria tertentu sebagai barang yang tergolong sangat mewah baik dilihat dari jenis barangnya maupun harganya, seperti kapal pesiar, rumah sangat mewah, apartemen dan kondominium sangat mewah, serta kendaraan sangat mewah.

Pemungutan Pajak Pph 22

Sebelum kita beranjak ketahap bagaimana cara menghitung pajak pph 22, kita terlebih dahulu harus tahu siapa saja yang melakukan pemungutan pph pasal 22. Dan yang melakukan pemungutan pajak pph 22 adalah sebagai berikut:
  1. Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, atas Impor barang.
  2. Direktorat Jenderal perbendaharaan, bendahara pemerintah baik di tingkat pusat ataupun ditingkat daerah, yang melakukan pembayaran atas pembelian barang;
  3. Barang usaha milik negara (BUMN) dan badan usaha milih daerah (BUMD) yang melakukan pembelian barang dengan menggunakan dana yang bersumber dari belanja negara (APBN) dan/atau belanja daerah (APBD), kecuali badan-badan tersebut pada butir 4;
  4. Bank Indonesia (BI), PT Perusahaan pengelola aset (PPA), perum badan urusan logistik (BULOG), PT Telekomunikasi indonesia (Telkom), PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), PT Garuda Indonesia, PT Indosat, PT Krakatau Steel, PT Pertamina, dan bank-bank BUMN yang melakukan pembelian barang yang dananya bersumber dari APBN maupun non-APBN;
  5. Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri kertas, industri baja, dan industri otomotif, yang ditunjuk oleh kepala kantor pelayanan pajak, atas penjualan hasil produksinya di dalam negeri;
  6. Produsen atau importir bahan bakar minyak, gas dan pelumas atas penjualan bahan bakar minyak, gas dan pelumas.
  7. Industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor perhutanan, perkebunan, pertanian, dan perikanan yang ditunjuk oleh direktorat jenderal pajak atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor mereka dari pedagang pengumpul.
  8. Wajib pajak badan yang melakukan penjualan barang yang tergolong sangat mewah.

Objek pemungutan pajak pph 22

Di dalam cara menghitung pajak pph 22, ada beberapa yang merupakan objek pph pasal 22, yaitu sebagai berikut:
  1. Impor barang;
  2. Pembayaran atas pembelian barang yang dilakukan oleh Direktur Jenderal Anggaran, Bendaharawan pemerintah baik ditingkat pusat maupun pemerintah daerah;
  3. Pembayaran atas pembelian barang yang dilakukan BUMN dan BUMD yang dananya dari belanja negara dan atau belanja daerah;
  4. Penjualan hasil produksi di dalam negeri yang dilakukan oleh badan usaha yang bergerak di bidang industri semen, industri rokok, industri kertas, industri baja dan industri otomotif;
  5. Penjualan hasil produksi yang dilakukan oleh pertamina dan badan usaha selain pertamina yang bergerak dibidang bahan bakar minyak jenis premix dan gas;
  6. Pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor perhutanan, perkebunan, pertanian, dan perikanan dari pedagang pengumpul;
  7. Penjualan barang yang tergolong sangat mewah, yang tergolong kedalam barang yang sangat mewah adalah:
  8. Pesawat udara pribadi, dengan harga jualnya lebih dari Rp. 20.000.000.000,00
  9. Kapal pesiar dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp 10.000.000.000,00
  10. Rumah beserta tanahnya dengan harga jual atau harga pengalihannya lebih dari Rp 10.000.000.000,00 dan luas bangunannya lebih dari 500m2
  11. Apartemen, kondominium, dan sejenisnya dengan harga jual atau harga pengalihannya lebih dari Rp 10.000.000.000,00 dan/atau luas bangunan lebih dari 400m2
  12. Kendaraan bermotor roda empat pengangkutan orang kurang dari 10 orang berupa sedan, jeep, sport utility vehicle (SUV), multipurpose vehicle (MPV), minibus dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp 5.000.000.000,00 dan dengan kapasitas silinder lebih dari 3.000 cc.

Cara Menghitung Pajak Pph 22

Cara menghitung pajak pph 22 atas kegiatan impor barang adalah sebagai berikut:
  1. Yang menggunakan API (Angka Pengenal Impor), tarif pemungutannya ialah sebesar 2,5% dari nilai impor. (PPh pasal 22 = 2,5% x Nilai Impor).
  2. Yang tidak menggunakan API (Angka pengenal Impor), tarif pemungutannya ialah sebesar 7,5% dari nilai impor. (PPh pasal 22 = 7,5% x Nilai Impor).
  3. Yang tidak dikuasai, tarif pemungutannya ialah sebesar 7,5% dari harga jual lelang. (PPh pasal 22 = 7,5% x Harga Jual Lelang).
Catatan:
Yang dimaksud dengan nilai impor adalah nilai berupa uang yang digunakan sebagai dasar perhitungan bea masuk. Nilai impor dihitung sebesar cost insurance and freight (CIF) + bea masuk + pungutan pabean lainnya.

Contoh 1
PT Toshiba memiliki nomor API, melakukan impor komputer dari Amerika Serikat dengan perician sebagai berikut:
Harga komputer (Cost)                                       US$ 20.000,00
Asuransi (Insurance)                                           US$ 1.000,00
Biaya angkut (Freight)                                        US$ 4.000,00
Harga Pabean                                                      US$ 25.000,00
Pungutan:
  • Bea masuk 20% US$ 5.000,00
  • Bea masuk tambahan 10% US$ 2.500,00
Nilai Impor                                                         US$ 32.500,00

Apabila pada tanggal impor (sesuai dokumen impor: pemberitahuan impor barang) nilai kurs US$ 1,00 = Rp 10.000,00, maka:
  • Dasar pengenaan pph pasal 22: US$ 32.500,00 x Rp 10.000,00 = Rp 325.000.000,00
  • Pph pasal 22 yang harus dipungut: Rp 325.000.000,00 x 2,5% = 8.125.000,00

Jika tidak mempunyai API, maka perhitungannya adalah:
PPh pasal 22 yang harus dipungut: Rp 325.000.000,00 x 7,5% = 24.375.000,00.

Cara Menghitung Pajak Pph 21 Sesuai Ketentuan Perpajakan

Bagikan ke:
Mungkin bagi para pengusaha atau para pekerja (Karyawan) tidak asing dengan yang namanya pajak, apalgi dengan pajak pph 21 yang setiap bulan sering dijumpai karena harus dibayar setiap bulannya. Akan tetapi pertanyaannya sudah pada bisa atau belum Cara Menghitung Pajak Pph 21 Sesuai Ketentuan Perpajakan ?

Di dalam artikel ini akan coba dibahas mengenai cara menghitung pajak pph 21 sesuai ketentuan perpajakan, agar semuanya mengetahui bagaimana cara untuk menghitungnya. Dalam penghitungan pajak ini sewaktu-waktu bisa berubah, maka dari itu kita harus terus mengupdate dari peraturan perpajakan, seberapa besar penghasilan yang terkena pajak.

Seperti yang telah kita ketahui, di mulai dari bulan januari 2013, Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) telah berubah. Untuk sekarang wajib pajak yang berstatus tidak kawin dan tidak mempunyai tanggungan jumlah Penghasilan Tiadak Kena Pajak (PTKP)-nya sebesar Rp 24.300.000,00 atau setara dengan Rp 2.025.000,00 per bulan. Dengan adanya aturan perubahan itu, tatacara dari penghitungan pph pasal 21 juga mengalami perubahan. Perubahan tersebut diatur dalam peraturan direktorat jendral pajak Nomor Per-31/PJ/2012 tentang pedoman teknis tata cara pemotongan, penyetoran dan pelaporan pajak penghasilan pasal 21 dan/atau pajak pengahasilan pasal 26 sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan orang pribadi.

Dalam aturan baru tersebut, yang berkewajiban melakukan pemotongan pph pasal 21 dan/atau pph pasal 26 adalah seorang pemberi kerja, bendahara atau pemegang kas pemerintah yang bertugas membayarkan gaji, upah dan sejenisnya dalam bentuk apapun sepanjang berkaitan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan; dana pensiun, badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja, dan badan-badan lain yang membayar uang pensiun secara berkala dan tunjangan hari tua atau jaminan hari tua; orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas serta badan yang membayar honorarium, komisi atau pembayaran lain dengan kondisi tertentu dan penyelenggara kegiatan, termasuk badan pemerintah, organisasi yang bersifat nasional dan internasional, perkumpulan, orang pribadi serta lembaga lainnya yang menyelenggarakan kegiatan, yang membayar honorarium, hadiah, atau penghargaan dalam bentuk apapun kepada wajib pajak orang pribadi berkenaan dengan suatu kegiatan.

Perincian penghasilan tidak kena pajak (PTKP) dalam perhitungan pajak pph pasal 21

Aturan dari direktorat jendaral pajak mengenai PTKP akan selalu mengalami perubahan, tidak beda halnya seperti yang terjadi pada tahun 2013. Kali ini akan di paparkan secara rinci PTKP yang terjadi sebelum tahun 2013 sampai dengan aturan yang terjadi di tahun 2013.
Berikut ini perincian penghasilan tidak kena pajak (PTKP) untuk tahun 2013, adalah sebagai berikut:
  • Rp 24.300.000,00 untuk wajib pajak sendiri (sebelumnya Rp 15.840.000,00)
  • Rp 2.025.000,00 untuk wajib pajak yang berstatus kawin (sebelumnya Rp 1.320.000,00)
  • Rp 24.300.000,00 untuk penghasilan seorang istri yang digabung (sebelumnya Rp 15.840.000,00), dan
  • Rp 2.025.000,00 untuk satu orang tanggungan dengan maksimal 3 orang tanggungan (sebelumnya Rp 1.320.000,00).
Perhitungan dari pajak pph pasal 21 menurut aturan yang baru tersebut, dapat dibedakan menjadi 6 macam, yaitu:
  • pph pasal 21 untuk pegawai tetap dan penerima pensiun berkala,
  • pph pasal 21 untuk pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas,
  • pph pasal 21 bagi anggota dewan pengawas atau
  • dewan komisaris yang tidak merangkap sebagai pegawai tetap,
  • penerima imbalan lain yang bersifat tidak teratur, dan
  • peserta program pensiun yang masih berstatus pegawai yang menarik dana pensiun.

Langkah-langkah dalam menghitung pajak perhasilan pribadi (PPh 21)

Pada prinsipnya untuk menghitung pajak penghasilan pribadi dilakukan pada akhir tahun, yaitu setelah kita mendapatkan seluruh data-data penghasilan pada tahun berjalan. Apabila kita bekerja pada suatu perusahaan, pada awal tahun kita akan mendapatkan pemotongan pajak penghasilan SPT tahunan (1721-A) dari bagian sumber daya manusia tentang penghasilan total anda pada tahun berjalan, pajak penghasilan yang telah disetor ke negara dan informasi lainnya untuk kita gunakan dalam mengisi form surat pemberitahuan (SPT) tahunan pajak.
Apabila kita ingin tahu bagaimana Cara Menghitung Pajak Pph 21 Sesuai Ketentuan Perpajakan setiap bulannya, berikut ini adalah langkah-langkah yang dapat menbantu kita untuk mengetahui bagaimana cara menghitungnya. Langkah-langkah ini telah disesuaikan dengan undang-undang No. 36 tahun 2008 (undang-undang tentang pajak penghasilan) dengan asumsi bahwa pekerja tidak punya penghasilan lain. Langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:
  • Hitunglah penghasilan bruto-nya setiap bulan
Yang termasuk penghasilan bruto pada bulan berjalan adalah gaji pokok (basic sallary), tunjangan transport (bila ada), tunjangan perumahan (bila ada), premi jaminan kecelakaan kerja, ;premi jaminan kematian, premi asuransi kesehatan dan tunjangan lainnya yang sifatnya teratur. Selain itu, uang lembur, uang perjalanan dinas bonus, uang cuti, tunjangan hari raya dan tunjangan lain merupakan bagian dari penghasilan bruto kita. Semua komponen penghasilan kotor ini di jumlahkan.
  • Hitung total pengurang
Yang termasuk dari pengurang yaitu biaya jabatan, iuran pensiun (bila ikut), dan iuran jaminan hari tua. Biaya jabatan besarnya 5% dari gaji pokok; iuran pensiun biasanya 2% dari gaji pokok, sesuai dengan keputusan menteri keuangan. Apabila kita ikut program jamsostek, iuran jaminan hari tua biasanya sebesar 5,7% dari gaji pokok setiap bulan; 3,7% ditanggung perusahaan dan 2% ditanggung pekerja.
  • Hitung penghasilan bersih (Netto) sebulan
Penghasilan netto adalah penghasilan bruto (dari langkah No. 1) kurang total pengurang (dari langkah No. 2).
  • Hitung penghasilan bersih setahun
Untuk menghitung potongan pajak penghasilan pribadi, penghasilan bersih perbulan disetahunkan dulu, yaitu penghasilan bersih (dari langkah No. 3) dikalikan 12.
  • Hitung Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
Besarnya PTKP tergantung dari status pekerja (wajib pajak). Ada perbedaan PTKP antara yang belum kawin, kawin dan belum punya anak (k-0), kawin dan punya anak 1 (K-1), kawin dan punya anak dua (K-2), dan kawin dan punya anak 3 (K-3).
  • Hitung penghasilan kena pajak
Penghasilan kena pajak adalah penghasilan bersih setahun (dari langkah No. 4) dikurang penghasilan tidak kena pajak (dari langkah No.5)
  • Hitung pajak penghasilan pribadi sesuai dengan tarif pajak penghasilan yang berlaku
Pajak penghasilan adalah penghasilan kena pajak (dari langkah No. 6) dikalikan dengan tarif pajak penghasilan pribadi.
  • Hitung pajak penghasilan pribadi pada bulan berjalan
Menghitung pajak penghasilan pribadi pada bulan berjalan adalah membagi total pajak setahun (dari langkah N0. 7) dengan 12.
Dengan mengetahui pajak penghasilan pada bulan berjalan, kita dapat menghitung penghasilan bersih setelah di potong pajak, yaitu penghasilan bersih pada bulan berjalan (dari langkah No. 3) dikurang dengan pajak penghasilan pada bulan berjalan (dari langkah No. 8).
Pada kesempatan kali ini, akan coba dipaparkan tentang contoh dari cara menghitung pajak pph pasal 21 sesuai ketentuan perpajakan untuk pegawai tetap dan penerima pensiun secara berkala. Perhitungan pajak pph pasal 21 untuk pegawai tetap dan penerima pensiun berkala dibedakan menjadi 2 (dua): penghitungan pph pasal 21 masa atau bulanan yang rutin dilakukan setiap bulan dan penghitungan kembali yang dilakukan setiap masa pajak desember (atau masa pajak dimana pegawai berhenti bekerja).
Berikut ini akan disampaikan contoh dari cara menghitung pajak pph pasal 21 sesuai ketentuan perpajakan.
Contoh 1:
Suyanto pegawai pada perusahaan PT Setia Abadi, menikah tanpa anak, memperoleh gaji sebulan Rp 3.000.000,00. PT Setia Abadi mengikuti program jamsostek, premi jaminan kecelakaan kerja dan premi jaminan kematian dibayar oleh pemberi kerja dengan jumlah masing-masing 0,50% dan 0,30% dari gaji. PT Setia Abadi menanggung iuran jaminan hari tua setiap bulan sebesar 3,70% dari gaji, sedangkan suyanto membayar iuran jaminan hari tua sebesar 2,00% dari gaji setiap bulan. Disamping itu PT Setia Abadi juga mengikuti program pensiun untuk pegawainya. PT Setia Abadi membayar iuran pensiun untuk suyanto ke dana pensiun, yang pendirinya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, setiap bulan sebesar Rp 100.000,00, sedangkan suyanto membayar iuran pensiun sebesar Rp 50.000,00. Pada bulan juni 2014 suyanto hanya menerima pembayaran berupa gaji. Penghitungan dari pph pasal 21 bulan juni 2014 adalah sebagai berikut:
Jawaban:
Gaji 3.000.000,00 
Premi Jaminan Kecelakaan Kerja 15.000,00 
Premi Jaminan Kematian 9.000,00 
Penghasilan bruto  3.024.000,00
Pengurangan   
1. Biaya jabatan     5%x3.024.000,00 151.200,00  
2. Iuran Pensiun   50.000,00  
3. Iuran Jaminan Hari Tua   60.000,00  
   261.200,00
 Penghasilan neto sebulan  2.762.800,00
Penghasilan neto setahun   
                             =12x2.762.800,00  33.153.600,00 
PTKP   
- untuk WP sendiri 24.300.000,00  
- tambahan WP kawin   2.025.000,00  
   26.325.000,00 
 Penghasilan Kena Pajak setahun    6.828.600,00 
Pembulatan    6.828.000,00 
PPh terutang           =5%x6.828.000,00  =341.400,00  
PPh Pasal 21 bulan Juni  =341.400,00 : 12 = 28.452,00 

Catatan:
  1. biaya jabatan adalah biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang dapat dikurangkan dari penghasilan setiap orang yang bekerja sebagai pegawai tetap tanpa memandang mempunyai jabatan ataupun tidak.
  2. Contoh di atas berlaku apabila pegawai yang bersangkutan sudah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Dalam hal ini pegawai yang bersangkutan belum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), maka jumlah pph pasal 21 yang harus di potong pada bulan Juni adalah sebesar: 120% x Rp 28.452,00 = Rp 34.140,00
Contoh 2
Tuan Andre pegawai pada perusahaan PT Mata Nazwa, menikah tanpa anak, memperoleh gaji sebulan Rp 10.000.000,00. PT Mata Nazwa mengikuti program jamsostek, premi jaminan kecelakaan kerja dan premi jaminan kematian dibayar oleh pemberi kerja dengan jumlah masing-masing 0,50% dan 0,30% dari gaji. PT Mata Nazwa menanggung iuran jaminan hari tua setiap bulan sebesar 3,70% dari gaji, sedangkan Tuan Andre membayar iuran jaminan hari tua sebesar 2,00% dari gaji setiap bulan. Disamping itu PT Mata Nazwa juga mengikuti program pensiun untuk pegawainya. PT Mata Nazwa membayar iuran pensiun untuk Tuan Andre ke dana pensiun, yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, setiap bulan sebesar Rp 300.000,00, sedangkan Tuan Andre membayar iuran pensiun sebesar Rp 200.000,00.
Berapakah besarnya perhitungan pajak (penghasilan) yang harus dipotong PT Mata Nazwa untuk satu bulannya?
Jawaban:
Gaji sebulan 10.000.000
Premi Jaminan Kecelakaan Kerja 50.000
Premi Jaminan Kematian 30.000
Jumlah Penghasilan Bruto 10.080.000
Pengurangan :  
1. Biaya Jabatan500.000 
2. Iuran Pensiun200.000 
3. Iuran Jaminan Hari Tua200.000 
         Jumlah Pengurangan 900.000
Penghasilan Neto Sebulan 9.180.000
Penghasilan Neto Setahun 110.160.000
PTKP  
- Diri WP Sendiri24.300.000 
- Status Kawin2.025.000 
   Jumlah PTKP 26.325.000
Penghasilan Kena Pajak Setahun 83.835.000
Pembulatan 83.835.000
PPh Pasal 21 Setahun (5%, 15%) 7.575.250
PPh Pasal 21 Sebulan (dibagi 12) 631.271
   
Catatan:
  • Menjumlahkan penghasilan bruto. Penghasilan bruto ini adalah seluruh penghasilan yang diterima oleh karyawan atau pegawai secara teratur dalam sebulannya. Yang termasuk dalam penghasilan bruto ini misalnya adalah gaji, tunjangan-tunjangan uang lembur dan premi asuransi yang ditanggung oleh perusahaan. Tidak termasuk dalam penghasilan bruto adalah imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan. Dalam contoh di atas penghasilan bruto yang menjadi objek pph pasal 21 adalah gaji, premi jaminan kecelakaan kerja (5% dari gaji) dan premi jaminan kematian (0,3% dari gaji) yang dibayar atau ditanggung prusahaan.
  • Hitung pengurang yang diperbolehkan yaitu pada dasarnya ada dua macam yaitu biaya jabatan dan iuran pensiun (termasuk iuran jaminan hari tua). Biaya jabatan sendiri besarnya 5% x Rp 10.080.000,00 atau sama dengan Rp 504.000,00. Jumlah ini masih di atas maksimum yang diperkenankan yaitu sebesar Rp 500.000,00 perbulan sehingga biaya jabatan adalah sebesar Rp 500.000,00.
  • Iuran pensiun dan iuran jaminan hari tua (JHT) yang maasing-masing sebesar Rp 200.000,00 dan Rp 200.000,00 (2% dari gaji) perbulan. Iuran pensiun dan iuran jaminan hari tua (JHT) yang dibayar atau ditanggung oleh perusahaan tidak dapat dikurangkan. Dengan demikian, jumlah seluruh pengurang adalah Rp 900.000,00.
  • Penghasilan bruto Rp 10.080.000,00 dikurangi pengurang Rp 900.000,00 sama dengan Rp 9.180.000,00. Jumlah inilah yang dimaksud dengan penghasilan neto sebulan. Selanjutnya penghasilan neto sebulan ini di kalkulasikan jadi penghasilan setahun dengan cara penghasilan neto sebulan dikalikan 12 bulan atau Rp 9.180.000,00 x 12 = Rp 110.160.000,00.
  • Selanjutnya kurangi dengan penghasilan tidak kena pajak (PTKP) yang berlaku pada tahun 2013 yang dalam hal ini jumlahnya adalah Rp 26.325.000,00. Hasil dari selisih inilah yang merupakan penghasilan kena pajak (PKP) (Rp 83.835.000,00).
  • Pajak penghasilan terutangny adalah tarif pajak (berdasarkan tarif pasal 17 UU pajak penghasilan) dikalikan penghasilan kena pajak. Beesarnya adalah 5% x Rp 50.000.000,00 + 15% x (Rp 83.835.000,00 – Rp 50.000.000,00) = Rp 7.575.250,00.
  • Terakhir, karena kita menghitung pph pasal 21 untuk satu bulan, maka pph pasal 21 terutang di atas tinggal dibagi 12 sehingga pajak yang dipotong oleh PT Mata Nazwa atas penghasilannya Tuan Andre adalah Rp 7.575.250,00 : 12 = Rp 631.271,00.
Demikinlah pemaparan dan beberapa contoh soal tentang Cara Menghitung Pajak PPh 21 Sesuai Ketentuan Perpajakan yang dapat dibagikan, semoga artikel ini dapat bermanfaat bagi kita semua yang telah membaca artikel ini. Ilmu perpajak adalah ilmu yang setiap saat selalu berubah peraturannya, oleh karena itu, kita harus selalu uptade mengenai hal-hal yang bersinggungan mengenai perpajakan, khususnya tentang ketentuan atas penghasilan yang kena pajak. Update informasi ini bisa di dapat dari media televisi, koran atau juga bisa lewat internet. Maka dari itu kita jangan bosen-bosen untuk meng-update pengetahuan kita khususnya di perpajakan ini. Sekian terima kasih.

Pengertian Pajak Menurut Berbagai Sumbernya

Bagikan ke:
Pengertian pajak menurut berbagai sumbernya ini sangat beragam sekali. Banyak pendapat-pendapat dan artian-artian dari pengertian pajak ini. Banyak aturan-aturan yang mengatur tentang perhitugan pajak, baik pajak perorangan ataupun badan.

Pengertian pajak

                         Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang sehingga dapat dipaksakan dengan tiada mendapat balas jasa secara langsung. Pajak dipungut penguasa berdasarkan norma-norma hukum untuk menutup biaya produksi barang-barang dan jasa kolektif untuk mencapai kesejahteraan umum. Lembaga Pemerintah yang bertugas mengelola perpajakan negara di Indonesia adalah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang merupakan salah satu direktorat jenderal yang ada di bawah naungan Kementerian Keuangan Republik Indonesia.
Terdapat bermacam-macam definisi tentang pajak yang dikemukakan oleh para ahli, diantaranya sebagai berikut:
  • Menurut Leroy Beaulieu,
Pajak adalah bantuan, baik secara langsung maupun tidak yang dipaksakan oleh kekuasaan publik dari penduduk atau dari barang, untuk menutup belanja pemerintah.
  • Menurut P. J. A. Adriani
Pajak adalah iuran masyarakat kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (undang-undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.
  • Menurut Prof. Dr. H. Rochmat Soemitro SH
Pajak adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Definisi tersebut kemudian dikoreksinya yang berbunyi sebagai berikut: Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada Kas Negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public investment'.
  • Menurut Sommerfeld Ray M., Anderson Herschel M., & Brock Horace R
Pajak adalah suatu pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah, bukan akibat pelanggaran hukum, namun wajib dilaksanakan, berdasarkan ketentuan yang ditetapkan lebih dahulu, tanpa mendapat imbalan yang langsung dan proporsional, agar pemerintah dapat melaksanakan tugas-tugasnya untuk menjalankan pemerintahan.
Pajak dari perspektif ekonomi dipahami sebagai beralihnya sumber daya dari sektor privat kepada sektor publik. Pemahaman ini memberikan gambaran bahwa adanya pajak menyebabkan dua situasi menjadi berubah. Pertama, berkurangnya kemampuan individu dalam menguasai sumber daya untuk kepentingan penguasaan barang dan jasa. Kedua, bertambahnya kemampuan keuangan negara dalam penyediaan barang dan jasa publik yang merupakan kebutuhan masyarakat.
Sementara pemahaman pajak dari perspektif hukum menurut Soemitro merupakan suatu perikatan yang timbul karena adanya undang-undang yang menyebabkan timbulnya kewajiban warga negara untuk menyetorkan sejumlah penghasilan tertentu kepada negara, negara mempunyai kekuatan untuk memaksa dan uang pajak tersebut harus dipergunakan untuk penyelenggaraan pemerintahan. Dari pendekatan hukum ini memperlihatkan bahwa pajak yang dipungut harus berdasarkan undang-undang sehingga menjamin adanya kepastian hukum, baik bagi fiskus sebagai pengumpul pajak maupun wajib pajak sebagai pembayar pajak.
Pajak menurut Pasal 1 angka 1 UU No 6 Tahun 1983 sebagaimana telah disempurnakan terakhir dengan UU No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan umum dan tata cara perpajakan adalah "kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang Undang, dengan tidak mendapat timbal balik secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat''

Unsur pajak

           Dari berbagai definisi yang diberikan terhadap pajak, baik pengertian secara ekonomis (pajak sebagai pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah) atau pengertian secara yuridis (pajak adalah iuran yang dapat dipaksakan) dapat ditarik kesimpulan tentang unsur-unsur yang terdapat pada pengertian pajak, antara lain sebagai berikut:
  1. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang. Asas ini sesuai dengan perubahan ketiga UUD 1945 pasal 23A yang menyatakan, "pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dalam undang-undang."
  2. Tidak mendapatkan jasa timbal balik (kontraprestasi perseorangan) yang dapat ditunjukkan secara langsung. Misalnya, orang yang taat membayar pajak kendaraan bermotor akan melalui jalan yang sama kualitasnya dengan orang yang tidak membayar pajak kendaraan bermotor.
  3. Pemungutan pajak diperuntukkan bagi keperluan pembiayaan umum pemerintah dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan, baik rutin maupun pembangunan.
  4. Pemungutan pajak dapat dipaksakan. Pajak dapat dipaksakan apabila wajib pajak tidak memenuhi kewajiban perpajakan dan dapat dikenakan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan.
  5. Selain fungsi budgeter (anggaran) yaitu fungsi mengisi Kas Negara/Anggaran Negara yang diperlukan untuk menutup pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan, pajak juga berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan negara dalam lapangan ekonomi dan sosial (fungsi mengatur / regulatif).

Fungsi pajak

Pajak mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara, khususnya di dalam pelaksanaan pembangunan karena pajak merupakan sumber pendapatan negara untuk membiayai semua pengeluaran termasuk pengeluaran pembangunan. Berdasarkan hal diatas maka pajak mempunyai beberapa fungsi, yaitu:
  1. Fungsi anggaran (budgetair)
Sebagai sumber pendapatan negara, pajak berfungsi untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara. Untuk menjalankan tugas-tugas rutin negara dan melaksanakan pembangunan, negara membutuhkan biaya. Biaya ini dapat diperoleh dari penerimaan pajak. Dewasa ini pajak digunakan untuk pembiayaan rutin seperti belanja pegawai, belanja barang, pemeliharaan, dan lain sebagainya. Untuk pembiayaan pembangunan, uang dikeluarkan dari tabungan pemerintah, yakni penerimaan dalam negeri dikurangi pengeluaran rutin. Tabungan pemerintah ini dari tahun ke tahun harus ditingkatkan sesuai kebutuhan pembiayaan pembangunan yang semakin meningkat dan ini terutama diharapkan dari sektor pajak.
  1. Fungsi mengatur (regulerend)
Pemerintah bisa mengatur pertumbuhan ekonomi melalui kebijaksanaan pajak. Dengan fungsi mengatur, pajak bisa digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Contohnya dalam rangka menggiring penanaman modal, baik dalam negeri maupun luar negeri, diberikan berbagai macam fasilitas keringanan pajak. Dalam rangka melindungi produksi dalam negeri, pemerintah menetapkan bea masuk yang tinggi untuk produk luar negeri.
  1. Fungsi stabilitas
Dengan adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk menjalankan kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas harga sehingga inflasi dapat dikendalikan, Hal ini bisa dilakukan antara lain dengan jalan mengatur peredaran uang di masyarakat, pemungutan pajak, penggunaan pajak yang efektif dan efisien.
  1. Fungsi redistribusi pendapatan
Pajak yang sudah dipungut oleh negara akan digunakan untuk membiayai semua kepentingan umum, termasuk juga untuk membiayai pembangunan sehingga dapat membuka kesempatan kerja, yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat.

Laporan Keuangan

Bagikan ke:

A. Kerangka Dasar

1.Tujuan laporan keuangan
Tujuan laporan keuangan adalah untuk memberikan informasi tentang posisi keuangan, kinerja, perubahan ekuitas, arus kas dan informasi lainnya yang bermanfaat bagi pengguna laporan dalam rangka membuat keputusan ekonomi serta menunjukkan pertanggungjawaban manajemen atas penggunaan sumber daya yang dipercayakan kepada mereka.

2.Tanggung jawab atas laporan keuangan
Manajemen bertanggung jawab atas penyusunan dan penyajian laporan keuangan.

3.Komponen laporan keuangan
Laporan keuangan yang lengkap terdiri dari: neraca, laporan laba rugi, laporan perubahan ekuitas, laporan arus kas, dan catatan atas laporan keuangan.

4.Bahasa laporan keuangan
Laporan keuangan harus disusun dalam bahasa Indonesia. Jika laporan keuangan juga disusun dalam bahasa lain selain dari bahasa Indonesia, maka laporan keuangan dalam bahasa lain tersebut harus memuat informasi dan waktu yang sama (tanggal posisi dan cakupan periode). Selanjutnya, laporan keuangan dalam bahasa lain tersebut harus diterbitkan dalam waktu yang sama dengan laporan keuangan dalam bahasa Indonesia.

5. Mata uang pelaporan
Pelaporan harus dinyatakan dalam mata uang rupiah. Apabila transaksi bank menggunakan mata uang lain selain dari rupiah maka laporan tersebut harus dijabarkan dalam mata uang rupiah dengan menggunakan kurs laporan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Keuntungan atau kerugian dalam periode berjalan yang terkait dengan transaksi dalam mata uang asing dinilai dengan menggunakan kurs laporan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.

6. Kebijakan akuntansi
Kebijakan tersebut harus mencerminkan prinsip kehati-hatian dan mencakup semua hal yang material dan sesuai dengan ketentuan dalam PSAK. Apabila PSAK belum mengatur masalah pengakuan, pengukuran, penyajian atau pengungkapan dari suatu transaksi atau peristiwa, maka manajemen harus menetapkan kebijakan untuk memastikan bahwa laporan keuangan menyajikan informasi:
a.       relevan terhadap kebutuhan para pengguna laporan untuk pengambilan keputusan;dan
b.      dapat diandalkan, dengan pengertian:
(1)    mencerminkan kejujuran penyajian hasil dan posisi keuangan perusahaan;
(2)    menggambarkan substansi ekonomi dari suatu kejadian atau transaksi dan tidak semata-mata bentuk hukumnya;
(3)    netral, yaitu bebas dari keberpihakan;
(4)    mencerminkan kehati-hatian; dan
(5)    mencakup semua hal yang material.
Manajemen menggunakan pertimbangannya untuk menetapkan kebijakan akuntansi yang memberikan informasi bermanfaat bagi pengguna laporan keuangan. Dalam melakukan pertimbangan tersebut manajemen memperhatikan:
a.       persyaratan dan pedoman PSAK yang mengatur hal-hal yang mirip dengan masalah terkait;
b.      definisi, kriteria pengakuan dan pengukuran aset, kewajiban, penghasilan dan beban yang ditetapkan dalam Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan (KDPPLK); dan
c.       pernyataan yang dibuat oleh badan pembuat standar lain dan praktik industri yang lazim sepanjang konsisten dengan huruf a dan b.

7. Penyajian
a. Laporan keuangan harus menyajikan secara wajar posisi keuangan, kinerja keuangan, perubahan ekuitas, dan arus kas disertai pengungkapan yang diharuskan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
b. Aset disajikan berdasarkan karakteristiknya menurut urutan likuiditas, sedangkan kewajiban disajikan menurut urutan jatuh temponya.
c. Saldo transaksi sehubungan dengan kegiatan operasi normal bank, disajikan dan diungkapkan secara terpisah antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa dengan pihak-pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa. Dalam hal ini yang dimaksud dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa termasuk pihak-pihak terkait sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia.
d. Laporan laba rugi menggambarkan pendapatan dan beban menurut karakteristiknya yang dikelompokkan secara berjenjang (multiple step) dari kegiatan utama bank dan kegiatan lainnya.
e. Catatan atas laporan keuangan harus disajikan secara sistematis dengan urutan penyajian sesuai komponen utamanya yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari laporan keuangan. Informasi dalam catatan atas laporan keuangan berkaitan dengan pos-pos dalam neraca, laporan laba rugi dan laporan arus kas yang sifatnya memberikan penjelasan, baik yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif, termasuk komitmen dan kontinjensi serta transaksi-transaksi lainnya.
f. Dalam catatan atas laporan keuangan tidak diperkenankan menggunakan kata “sebagian besar” untuk menggambarkan bagian dari suatu jumlah tetapi harus dinyatakan dalam jumlah nominal atau persentase.
g. Perubahan akuntansi wajib memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1) Perubahan estimasi akuntansi
Estimasi akuntansi dapat diubah apabila terdapat perubahan kondisi yang
mendasarinya. Selain itu, juga wajib diungkapkan pengaruh material dari
perubahan yang terjadi baik pada periode berjalan maupun pada periode-
periode berikutnya.
2) Perubahan kebijakan akuntansi
Kebijakan akuntansi dapat diubah apabila:
a)      penerapan suatu kebijakan akuntansi yang berbeda diwajibkan oleh peraturan perundangan atau standar akuntansi keuangan yang berlaku; atau
b)      diperkirakan bahwa perubahan tersebut akan menghasilkan penyajian kejadian atau transaksi yang lebih sesuai dalam laporan keuangan. Dampak perubahan kebijakan akuntansi harus diperlakukan secara retrospektif dengan melakukan penyajian ulang untuk seluruh periode sajian dan melaporkan dampaknya terhadap masa sebelum periode sajian. Dalam hal perlakuan secara retrospektif dianggap tidak praktis maka cukup diungkapkan alasannya atau mengikuti ketentuan dalam PSAK yang berlaku apabila terdapat aturan lain dalam ketentuan masa transisi pada standar akuntansi keuangan baru.
3) Terdapat kesalahan mendasar
Koreksi kesalahan mendasar dilakukan secara retrospektif dengan melakukan penyajian ulang untuk seluruh periode sajian dan melaporkan dampaknya terhadap masa sebelum periode sajian.
h. Pada setiap lembar neraca, laporan laba rugi, laporan arus kas, dan laporan perubahan ekuitas harus diberi pernyataan bahwa “catatan atas laporan keuangan merupakan bagian tak terpisahkan dari laporan keuangan”.
i. Di samping hal-hal di atas, penyajian laporan keuangan bagi bank wajib mengikuti ketentuan yang dikeluarkan Bank Indonesia.

8. Konsistensi penyajian
a. Penyajian dan klasifikasi pos-pos dalam laporan keuangan antar-periode harus
konsisten, kecuali:
1) terjadi perubahan yang signifikan terhadap sifat operasi perbankan; atau
2) perubahan tersebut diperkenankan oleh Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK).
b. Apabila penyajian atau klasifikasi pos-pos dalam laporan keuangan diubah, maka penyajian periode sebelumnya harus direklasifikasi untuk memastikan daya banding, sifat, dan jumlah. Selain itu alasan reklasifikasi juga harus diungkapkan. Dalam hal reklasifikasi dianggap tidak praktis maka cukup diungkapkan alasannya.

9. Materialitas dan agregasi
a. Penyajian laporan keuangan didasarkan pada konsep materialitas.
b. Pos-pos yang jumlahnya material disajikan tersendiri dalam laporan keuangan, sedangkan yang jumlahnya tidak material dapat digabungkan sepanjang memiliki sifat atau fungsi yang sejenis.
c. Informasi dianggap material apabila kelalaian untuk mencantumkan (ommission) atau kesalahan dalam mencatat (misstatement) informasi tersebut dapat mempengaruhi keputusan yang diambil.

10. Saling hapus (Off se« ng)
a. Jumlah aset dan kewajiban yang disajikan pada neraca tidak boleh disalinghapuskan dengan kewajiban atau aset lain kecuali secara hukum dibenarkan dan saling hapus tersebut mencerminkan prakiraan realisasi atau penyelesaian aset atau kewajiban.
b. Pos-pos pendapatan dan beban tidak boleh disalinghapuskan, kecuali yang berhubungan dengan transaksi lindung nilai, serta dengan aset dan kewajiban yang disalinghapuskan sebagaimana dimaksud di atas.

11. Periode pelaporan
Laporan keuangan wajib disajikan secara tahunan berdasarkan tahun takwim. Dalam hal bank baru berdiri, laporan keuangan dapat disajikan untuk periode yang lebih pendek dari satu tahun takwim. Selain itu untuk kepentingan pihak lainnya, bank dapat membuat dua laporan yaitu dengan menggunakan periode tahun takwim dan periode efektif, dengan mencantumkan:
a. Alasan penggunaan periode pelaporan selain periode satu tahunan.
b. Fakta bahwa jumlah yang tercantum dalam neraca, laporan laba rugi, laporan perubahan ekuitas, laporan arus kas, dan catatan atas laporan keuangan tidak dapat diperbandingkan.

12. Informasi komparatif
a. Laporan keuangan tahunan dan interim harus disajikan secara komparatif dengan periode yang sama pada tahun sebelumnya. Sedangkan untuk laporan laba rugi interim harus mencakup periode sejak awal tahun buku sampai dengan akhir periode interim yang dilaporkan.
b. Informasi komparatif yang bersifat naratif dan deskriptif dari laporan keuangan periode sebelumnya wajib diungkapkan kembali apabila relevan untuk pemahaman laporan keuangan periode berjalan.

13.  Laporan keuangan interim
a. Laporan keuangan interim adalah laporan keuangan yang diterbitkan di antara dua laporan keuangan tahunan dan harus dipandang sebagai bagian integral dari laporan periode tahunan. Penyusunan laporan interim dapat dilakukan secara bulanan, triwulanan atau periode lain yang kurang dari satu tahun.
b. Laporan keuangan interim memuat komponen yang sama seperti laporan keuangan tahunan yang terdiri dari neraca, laporan laba rugi, laporan arus kas, laporan perubahan ekuitas, dan catatan atas laporan keuangan.

14.  Laporan keuangan konsolidasi
Dalam menyusun laporan keuangan konsolidasi, laporan keuangan bank dan anak perusahaan digabungkan satu persatu dengan menjumlahkan unsur-unsur yang  sejenis dari aset, kewajiban, ekuitas, pendapatan, dan beban. Agar laporan keuangan konsolidasi dapat menyajikan informasi keuangan dari kelompok perusahaan tersebut sebagai satu kesatuan ekonomi, maka perlu dilakukan langkah-langkah berikut:
a. Transaksi dan saldo resiprokal antara induk perusahaan dan anak perusahaan harus dieliminasi.
b. Keuntungan dan kerugian yang belum direalisasi, yang timbul dari transaksi antara bank dan anak perusahaan harus dieliminasi.
c. Untuk tujuan konsolidasi, tanggal laporan keuangan anak perusahaan pada dasarnya harus sama dengan tanggal laporan keuangan bank. Apabila tanggal laporan keuangan tersebut berbeda maka laporan keuangan konsolidasi per tanggal laporan keuangan bank masih dapat dilakukan sepanjang:
1) perbedaan tanggal pelaporan tersebut tidak lebih dari 3 (tiga) bulan; dan
2) peristiwa atau transaksi material yang terjadi di antara tanggal pelaporan
tersebut diungkapkan dalam catatan atas laporan keuangan konsolidasi.
d. Laporan keuangan konsolidasi disusun dengan menggunakan kebijakan akuntansi yang sama untuk transaksi, peristiwa dan keadaan yang sama atau sejenis.
e. Hak minoritas (minority interest) harus disajikan tersendiri dalam neraca konsolidasi antara kewajiban dan modal sedangkan hak minoritas dalam laba disajikan dalam laporan laba rugi konsolidasi.

B. Komponen Laporan Keuangan

1.Laporan keuangan bank untuk tujuan umum terdiri dari:
a. Neraca;
b. Laporan laba rugi;
c. Laporan arus kas;
d. Laporan perubahan ekuitas; dan
e. Catatan atas laporan keuangan.

2. Perbankan wajib membuat laporan keuangan sebagai laporan kepada bank sentral dan pengguna lainnya yang menyangkut posisi keuangan, kinerja, perubahan posisi keuangan, dan catatan atas laporan keuangan. Oleh karena itu, dibutuhkan adanya laporan keuangan bank yang menyediakan informasi-informasi tersebut untuk pengambilan keputusan, seperti dicerminkan dalam laporan-laporan berikut ini:
a. Laporan Posisi Keuangan
Posisi keuangan bank dipengaruhi oleh sumber daya ekonomi yang dikendalikan, struktur keuangan, likuiditas, dan solvabilitas, serta kemampuan beradaptasi dengan perubahan lingkungan. Informasi ini berguna untuk memprediksi kemampuan bank di masa depan dalam menghasilkan kas dan setara kas, kebutuhan investasi, pendistribusian hasil pengembangan dan arus kas, memprediksi kemampuan bank dalam memenuhi komitmen keuangan pada saat jatuh tempo, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Informasi posisi keuangan bank tergambar dalam neraca.
b. Laporan Kinerja
Informasi kinerja bank diperlukan untuk menilai perubahan potensial sumber daya ekonomi yang mungkin dikendalikan di masa depan. Informasi ini berguna untuk memprediksi kapasitas bank dalam menghasilkan arus kas dari sumber daya yang ada. Selain itu, informasi ini berguna dalam perumusan tentang efektivitas bank dalam memanfaatkan sumber daya. Informasi kinerja bank tergambar dalam laporan laba rugi.
c. Laporan Perubahan Posisi Keuangan
Informasi perubahan posisi keuangan bank, antara lain:
1) Perubahan kas dan setara kas
Informasi perubahan kas dan setara kas berguna untuk menilai kemampuan bank menghasilkan arus kas dan setara kas serta kebutuhan bank untuk menggunakan arus kas pada setiap aktivitas. Informasi ini bermanfaat untuk menilai aliran kas dan setara kas yang berasal dari aktivitas operasi, investasi, dan pendanaan. Informasi perubahan kas dan setara kas tergambar dalam laporan arus kas.
2) Perubahan ekuitas
Informasi perubahan ekuitas bank menggambarkan peningkatan atau penurunan aset bersih atau kekayaan selama periode bersangkutan berdasarkan prinsip pengukuran tertentu yang dianut dan harus diungkapkan dalam laporan keuangan. Informasi ini bermanfaat untuk mengetahui perubahan aset bersih yang berasal dari transaksi dengan pemegang saham dan jumlah keuntungan atau kerugian yang berasal dari kegiatan bank selama periode yang bersangkutan. Informasi perubahan ekuitas tergambar dalam laporan perubahan ekuitas.

C. Keterbatasan Laporan Keuangan

Pengambilan keputusan ekonomi tidak dapat semata-mata didasarkan atas informasi
yang terdapat dalam laporan keuangan. Hal ini disebabkan laporan keuangan memiliki
keterbatasan, antara lain:
1. Bersifat historis yang menunjukkan transaksi dan peristiwa yang telah lampau.
2. Bersifat umum, baik dari sisi informasi maupun manfaat bagi pihak pengguna. Biasanya informasi khusus yang dibutuhkan oleh pihak tertentu tidak dapat secara langsung dipenuhi semata-mata dari laporan keuangan saja.
3. Tidak luput dari penggunaan berbagai pertimbangan dan taksiran.
4. Hanya melaporkan informasi yang material.
5. Bersifat konservatif dalam menghadapi ketidakpastian. Apabila terdapat beberapa kemungkinan yang tidak pasti mengenai penilaian suatu pos, maka dipilih alternatif yang menghasilkan laba bersih atau nilai aset yang paling kecil.
6. Lebih menekankan pada penyajian transaksi dan peristiwa sesuai dengan substansi dan realitas ekonomi dan bukan hanya bentuk hukumnya (formalitas).
7. Adanya berbagai alternatif metode akuntansi yang dapat digunakan sehingga menimbulkan variasi dalam pengukuran sumber daya ekonomis dan tingkat kesuksesan antar-bank.

D. Metode Pencatatan Transaksi Mata Uang Asing

1. Transaksi dalam mata uang asing dijabarkan ke dalam Rupiah dengan menggunakan kurs laporan (penutupan) yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, yaitu kurs tengah yang merupakan rata-rata kurs beli dan kurs jual berdasarkan Reuters pada pukul 16.00 WIB setiap hari.
2. Dalam melakukan pencatatan transaksi mata uang asing terdapat dua metode yang dapat digunakan yaitu:
a. single currency (satu jenis mata uang);
b. multi currency (lebih dari satu jenis mata uang).
3. Pengertian dan karakteristik:
a. Single currency adalah pencatatan transaksi mata uang asing dengan membukukan langsung ke dalam mata uang dasar (base currency) yang digunakan yaitu mata uang rupiah/Indonesian Rupiah (IDR).
Karakteristik dari single currency adalah sebagai berikut:
1) neraca yang diterbitkan hanya dalam mata uang rupiah;
2) saldo rekening dalam mata uang asing dicatat secara extracomptable;
3) penjurnalan tidak menggunakan pos rekening perantara mata uang asing;
4) penjabaran (revaluasi) saldo rekening mata uang asing dilakukan langsung per
rekening yang bersangkutan.
b. Multi currency adalah pencatatan transaksi mata uang asing dengan membukukan langsung ke dalam mata uang asing asal (original currency) yang digunakan pada transaksi tersebut. Karakteristik dari multi currency adalah sebagai berikut:
1) neraca dapat diterbitkan dalam setiap mata uang asing asal (original currency) yang digunakan;
2) untuk mengetahui posisi keuangan gabungan seluruh mata uang, diterbitkan neraca dalam base currency;
3) penjurnalan menggunakan pos rekening perantara; dan
4) penjabaran (revaluasi) saldo rekening mata uang asing dilakukan melalui rekening perantara mata uang asing. Penjabaran ekuivalen rupiah dari rekening-rekening tersebut hanya dilakukan dalam rangka pelaporan neraca.

4. Pencatatan biaya dan pendapatan mata uang asing dilakukan sebagai berikut:
a. Jika menggunakan single currency
Seluruh biaya dan pendapatan mata uang asing dicatat dalam Rupiah.
b. Jika menggunakan multi currency
1) Seluruh biaya dan pendapatan mata uang asing dicatat dalam mata uang asal.
2) Agar saldo biaya dan pendapatan mata uang asing tidak menimbulkan selisih kurs revaluasi maka pada setiap akhir hari, saldo rekening biaya dan pendapatan mata uang asing tersebut dipindahbukukan ke rekening biaya dan pendapatan rupiah.